Pages

Tuesday, January 29, 2013

Indonesia Negeri Muslim Berlimpah Riba


“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.”
(HR. Al Hakim)
Sungguh sangat miris hati ini melihat kenyataan kehidupan di negeri Indonesia tercinta, karena wajah dan corong riba telah hadir dimana-mana dengan mudah dan cepat menjalar ke seluruh pelosok negeri tercinta indonesia.  Benar-benar mengerikan kenyataan kehidupan sekarang ini, pesan-pesan promosi “satu jam cair, bunga ringan,jaminkan bpkb motor atau mobil”, “satu hari cair bunga ringan *ketentuan berlaku”,  “butuh dana cepat????? Hubungi 08xxxxx”, cash dan kredit angsuran dan bunga ringan dan sebagainya, bisa dengan mudah kita baca pamflet-pamflet, spanduk dan sejenisnya dipinggir jalan, di tembok-tembok, tiang listrik atau pohon-pohon yang berjajar dari sabang sampai merauke. Prinsip dari pesan itu adalah kemudahan mendapatkan pinjaman, mengatasi masalah ekonomi dengan masalah baru.
Transaksi-transaksi ribawi  sudah sangat mengakar dalam masyarakat di negeri ini dan menganggapnya sebagai transaksi “biasa” yang bebas nilai dan bebas dosa. Orang khususnya muslim dengan sangat ringan melakukan transaksi ribawi di perbankan konvensional, lembaga keuangan simpan-pinjam, koperasi sekolah umum dan madrasah, koperasi-koperasi RT atau bahkan pada banyak arisan yang dikelola oknum-oknum tertentu dengan dalih arisan motor, arisan rumah ataupun barang lainnya. Transaksi-transaksi ini biasa menggunakan prinsip persen bunga dan ada dikemas dengan dalih biaya administrasi, prinsip lelang dan bahkan biaya jasa /ujrah.
Kenyataan ini sungguh sangat ironis di negeri yang katanya 88 persennya pemeluk agama mulia yang dengan tegas mengharamkan dengan bobot yang sangat berat atas transaksi-transaksi berbasis bunga atau riba, akan tetapi pada kenyataannya nampak jelas praktek riba subur dimana-mana, dari desa terpencil sampai kota-kota besar, dari rakyat jelata sampai pejabat tertinggi negara, dari pedagang gendong dan buruh tani sampai bisnis asset triliunan rupiah, semua tidak bisa lepas dari cengkeraman transaksi ribawi. Terlebih ironis lagi lembaga agama tertinggi negara pun masih menggunakan lembaga keuangan konvensional yang berbasis riba untuk transaksi maupun aliran dananya dan menggaji para pegawainya. Padahal sudah jelas Majelis Ulama Indonesia dengan Dewan Syariah Nasionalnya sudah mengeluarkan fatwa pengharaman bunga( riba) diantaranya Fatwa DSN-MUI no.1 th. 2004.
Dari kenyataan tersebut, kira-kira1400 tahun yang lalu Nabi Muhammad saw sudah melarang riba baik melalui kalam Allah yang diterima maupun penjelasan melaui sunahnya dengan tingkat pelarangan yang sangat berat melebihi pelarangan terhadap perilaku zina. Banyak ayat dalam alquran dan hadits rasulullah mengenai pelarangan riba. Oleh karena itu, materi-materi tentang muamalah syar’iyah sangat mendesak untuk disosialisasikan kepada umat muslimin dimanapun.
Memahami Riba        
Ibnu Abi Bakr mengatakan bahwa Malik bin Anas mengatakan, “Aku tidaklah memandang sesuatu yang lebih jelek dari riba karena Allah Ta’ala menyatakan akan memerangi orang yang tidak mau meninggalkan sisa riba yaitu pada kalamnya-Nya, “Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu (disebabkan tidak meninggalkan sisa riba).” (QS. Al Baqarah: 279) Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan, “Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.” Secara prinsip, dasar ini harus diketahui banyak  masyarakat di sekolah-sekolah, madrasah, instansi kantor ataupun organisasi kemasyarakatan lain yang mengelola koperasi untuk segera mengetahui prinsip muamalah baik jual beli, simpan-pinjam dan transaksi lainnya agar tidak terjebak kepada transaksi-transaksi ribawi.
Pengertian Riba
Secara etimologi, riba berarti tambahan (al fadhl waz ziyadah). Juga riba dapat berarti bertambah dan tumbuh (zaada wa namaa).  Sedangkan menurut istilah; Imam Ibnu al-‘Arabiy mendefinisikan riba dengan; semua tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi. Imam Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba adalah tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya. Di dalam kitab al-Mabsuuth, Imam Sarkhasiy menyatakan bahwa riba adalah al-fadllu al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di dalam jual beli yang halal terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Sedangkan jika di dalam jual beli terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak disertai kompensasi, maka hal itu bertentangan dengan perkara yang menjadi konsekuensi sebuah jual beli, dan hal semacam itu haram menurut syariat.
Jenis-jenis Riba
Riba terbagi menjadi empat macam; (1) riba nasiiah (riba jahiliyyah); (2) riba fadlal; (3) riba qaradl; (4) riba yadd.
Riba Nasii`ah. Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim; ” Riba itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas]
Riba Fadl. Riba fadl adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim. “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra), dalam hadits lain “Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).  Dalam hal ini ada contoh perilaku barter atau menukar barang dengan barang yang sama jenisnya dalam masyarakat kita, perilaku tersebut banyak muncul pada saat pembagian beras raskin yang terkadang kurang layak konsumsi ditukar dengan beras bagus dengan jumlah yang lebih sedikit kepada pedagang beras tanpa menggunakan kaidah jual-beli yang dihalalkan.
Riba al-Yadd. Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, Riba yad adalah riba yang terdapat pada jual beli tidak secara tunai karena adanya penangguhan pembayaran. Dalam hal ini, penjual menetapkan harga yang yang berbeda pada barang yang sama antara pembeli tunai dan pembeli tidak tunai. Perbedaan harga inilah yang menurut sebagian ulama termasuk riba karena adanya penambahan harga dan secara prinsip riba yadd berbeda dengan pola transaksi bai’ al murabahah atau pembelian dengan tempo yang penetapan harga disepakati diawal transaksi.
Riba Qardl. Riba qardl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits berikut ini; Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, “Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput ker­ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]. Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya tentunya ini lebih dilarang lagi.  Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”. (Setiap pinjaman yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba”.[Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah). Keterangan diatas memberikan arahan bagi kita baik nasabah pelaku transaksi maupun praktisi lembaga keuangan syariah (baitul maal wattamwil) untuk lebih berhati-hati dalam menerima bingkisan atau pemberian dalam bentuk apapun, karena hal-hal besar berasal dari kebiasaan membiarkan perilaku-perilaku kecil yang terkadang tidak jelas dan subhat, bisa jadi itu termasuk riba qardl. Kita berlindung kepada Allah dari hal-hal yang demikian. Wallahu a”lam bishawwab.
Akibat Perbuatan memakan riba
  1. 1.     Memakan Riba Lebih Buruk Dosanya dari Perbuatan Zina
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih). Sedemikian besar larangan syariat islam terhadap perilaku riba bahkan dampak dari riba lebih buruk dari pada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali. Na’udzubillahi min dzalik.
  1. 2.     Dosa Memakan Riba Seperti Dosa Seseorang yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi)
  1. 3.     Tersebarnya riba di suatu negeri menjadi sebab turunnya adzab dari Allah 
Tersebarnya riba di suatu negeri jika dibiarkan terus-menerus tanpa ada da’wah yang menyadarkan dan menyentuh ranah ini bisa menjadi sebab turunnya adzab Allah azza wa jalla sesuai dengan yang disampaikan Rasulullah saw : “Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim)
Khotimah
Setelah kita mengetahui kenyataan bahwa sudah sedemikian berlimpah ruah transaksi ribawi pada masyarakat di negeri ini  dan dampaknya yang mengerikan, maka tidak ada kata dan tindakan lain kecuali memulai dari diri sendiri untuk lebih berhati-hati dalam bermuamalah,  mengajak keluarga dan orang-orang disekitar kita pindah dari transaksi ribawi kepada transaksi-transaksi yang berbasis syariah, mengubah dari pola pikir cepat, mudah, murah dan bunga tidak masalah kepada pola syariah dan barakah. Dengan begitu kita sudah ikut berperan dalam penyelamatan negeri ini dari ancaman adzab Allah ‘azza wa jalla. Wallahu a’lam bishawwab.
 
Penulis : Harun santoso 08812832210
Praktisi lembaga keuangan syariah BMT Tumang Boyolali

Back to the gold standard: Some benefits of using gold as currency


Published: January 28, 2013


The Malaysian state of Kelantan started issuing gold coins in 2006. Although the federal government of Malaysia 
does not recognise these coins as legal tender, the demand for these coins has been overwhelming. PHOTO: FILE
London: In an environment of high domestic inflation, deteriorating exchange rate of local currency against major foreign currencies and decreasing interest rates, preserving the value of savings and investment is certainly a challenging task. Most people, especially unsophisticated investors, tend to seek refuge in real estate in an attempt to preserve the value of investments. However, small savers and investors who prefer liquidity find it difficult to lock their savings in illiquid investments like property.
In the Indian sub-continent, there has been an historical obsession with gold as an enduring investment: women tend to try and convince their husbands to ‘invest’ in jewellery. All of us, however, know that gold jewellery has never been a good investment. The story is different when it comes to gold metal. Gold has always proven to be a safe haven for most investors, especially for the long run. In a country like Pakistan, which at present is facing all kinds of economic problems, it is becoming increasingly difficult for investors to preserve the real value of their investments. Meanwhile, local savers are also disheartened by the prospect of earning low, or in some cases negative, real return on their savings (and hence incurring a capital loss in real terms). This is also a deterrent for many foreign investors who may wish to invest in the country.
One viable option for many savers is to open up foreign currency accounts in local banks to hedge against exchange rate fluctuations and rising domestic prices. This remains a preferred option for many, especially those who receive foreign remittances on a regular basis. However, while most of the local and foreign banks operating in the country offer foreign currency (US dollar, British pound and euro) accounts, there are nearly zero gold-based savings and investment products.
Given the macroeconomic conditions, it is probably high time for the introduction of gold coins in Pakistan, as an attempt to introduce a stable currency for saving. The current share of Islamic banking in overall banking in Pakistan is about 8%, and we can expect that a very significant proportion of the banked individuals and households would be interested in saving in bullion. Islamic banks in the country can exploit this opportunity to win more business by introducing bullion accounts.
If the introduction of gold coins is successful, monetary authorities – ie, the State Bank of Pakistan – may consider using gold coins to bring about monetary reforms in the country. Indeed, advocates of monetary reform have for long advocated a return to the gold standard. Some prominent economists, like Nobel laureate Robert Mundell and James Robertson, have written a lot on the benefits of returning to the gold standard. In the context of Islamic banking and trade, the likes of the former prime minister of Malaysia, Dr Mahathir Mohamed, and activists like Tarek elDiwani have been influential figures advocating the introduction of gold dinars and replacing the fractional reserve based banking system.
In fact, the Malaysian state of Kelantan rather controversially started issuing gold coins in 2006. Although the federal government of Malaysia does not recognise these coins as legal tender, the demand for these coins has been overwhelming. Since then, some silver coins have also been sold to savers who would like to save them for the longer term.
While it may be a far-fetched idea to expect the State Bank of Pakistan to start issuing gold and silver coins, the increasing demand for Islamic banking in Pakistan offers Islamic banks a window of opportunity, to exploit which they can start offering bullion-based investments to those who consider gold coins to be more Shariah-compliant than conventional money, which is created through an interest-based credit system.
THE WRITER IS AN ECONOMIST AND A PHD FROM CAMBRIDGE UNIVERSITY

Tuesday, January 15, 2013

Wawancara bersama Wartawan Berita Islam - Mi’raj News Agency (MINA)

Sinopsis: Pada hari Ahad, 13 Januari 2013 da'ie Abdul halim Abdul Hamid telah menyampaikan satu siri da'wah berkenaan penyelesaian bagi Pembebasan Al-Quds dan Palestine melalui Dinar dan Dirham di Masjid Kemayoran Kota Surabaya, Indonesia. Rentetan dari ceramah tersebut beliau telah di jemput untuk di wawancara bersama Wartawan Mi’raj News Agency (MINA) - http://www.mirajnews.com/en/

Berikut adalah wawancara bersama wartawan MINA:

Wawancara Khusus dengan Dr Abdul Halim bin Abdul Hamid, Pakar Ekonomi Syariah asal Malaysia
Surabaya, 2 Rabiul Awwal/13 Januari 2013 (MINA) - Pakar ekonomi syariah asal Malaysia Dr Abdul Halim bin Abdul Hamid mengatakan bahwa saat ini masyarakat dunia khususnya umat Islam banyak yang sadar dengan sistem ekonomi syariah. Kesadaran ini muncul mengingat sistem ekonomi kapitalis ternyata merugikan. Bagaimana sistem ekonomi syariah dianggap menjanjikan perkembangannya pada tahun-tahun mendatang? Berikut wawancara khusus wartawan Kantor Berita Islam Mi’raj News Agency (MINA) dengan Dr Abdul Halim bin Abdul Hamid di sela-sela acara Tabligh Akbar Solidaritas Al-Aqsha Palestina di Surabaya, Sabtu (13/1).
Bagaimana menurut pengamatan Anda tentang perkembangan ekonomi syariah saat ini?
Sekarang masyarakat dunia khususnya umat Islam banyak yang sadar dengan sistem ekonomi syariah. Mereka mulai sadar bahwa sistem ekonomi kapitalis sebenarnya merugikan mereka sendiri. Di berbagai negara khususnya di kawasan Asia, mereka mulai menerapkan sistem ekonomi syariah pada perbankan mereka. Di Indonesia dan Malaysia bank-bank konvensional juga memberikan layanan ekonomi syariah. Hal ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi syariah sangat menjanjikan perkembangannya pada tahun-tahun mendatang.
Jika umat Islam berbondong-bondong tertarik pada sistem ekonomi syariah, lalu apa kendala yang dihadapi dalam penerapannya?
Selama system ekonomi mereka masih berkiblat pada ekonomi kapitalisme Amerika. Maka, selama itu pula mereka tidak akan bisa keluar dari jurang kemiskinan. Untuk itu, para pemimpin negara hendaknya mempunyai keberanian dan kebijakan untuk bisa melaksanakan ekonomi syariah. Demi martabat bangsa, seyogyanya penentu kebijakan harus berani mengambil sikap meninggalkan sistem ekonomi kapitalis menuju kepada sistem ekonomi syariah. Jika mereka masih menganut ekonomi kapitalisme, maka justru kekayaan mereka akan terus dikeruk Barat.
Apakah system ekonomi kapitalis yang masih menjadi andalan, dapat terus bertahan dan diminati?

Fakta membuktikan, kita bisa lihat sekarang Amerika dengan hutangnya yang mencapai lebih dari 15 triliun dolar Amerika (atau sekitar 15 ribu triliun rupiah, jika kurs 1 dolar AS = 10 ribu rupiah). Itu artinya dolar AS semakin ditinggalkan oleh masyarakat internasional. Dunia internasional mulai sadar mencari alternatif lain yang lebih menjanjikan, dan itu ada pada sistem ekonomi syariah.
Jika beralih ke sistem ekonomi syariah, bagaimana sistem ini dapat mensejahterakan masyarakat?
Jikalau masyarakat muslim saja bertransaksi secara syariah, menggunakan dinar (emas) dan dirham (perak) yang mempunyai ilai riil secara instrinsik, membayar zakat dengan dinar, berangkat haji dengan dinar dan segala bentuk transaksi menggunakan ukuran dinar, maka unat Islam akan menjadi kuat secara ekonomi. Kekayaan umat Islam dikelola oleh umat Islam sendiri untuk kesejahteraan bersama. Ekonomi umat Islam menjadi kuat karena didukung oleh nilai dari dinar tersebut yang tidak akan mudah turun walaupun dalam jangka waktu yang lama. Sehingga kekayaan umat Islam tidak mudah begitu saja diambil oleh kapitalis seperti sekarang.
Saya yakin bila masyarakat menerapkan hal tersebut mereka akan menjadi sejahtera karena sistem keuangan yang adil dan tidak ada pihak yang dirugikan
Bank Dunia pun mulai melirik bank syariah misalnya?
Sebenarnya mereka masih menerapkan kulitnya saja, masih mengelabuhi masyarakat. Sebenarnya masih tetap saja menerapkan sistem kapitalis. Secara substansi mereka masih mempraktekkan sistem kapitalis. Mereka tetap ingin untung.